Sejarah Kerajaan Tanralili di Marusu (Kab.Maros)

08.28.00 Unknown 9 Comments

MATA BUGIS, Sejarah Kerajaan Tanralili di Marusu (Kab.Maros)Tanralili merupakan salah satu kerajaan penting dalam jajaran Toddo Limaya Ri Marusu, walaupun pada abad XX Tanralili tidak lagi menjadi bagian dalam Toddo Limaya, karena terjadi peleburan dalam bagian kecamatan. Namun, tetap menjadi satu bagian dalam gallarrang Appaka (kecamatan). Peleburan beberapa eks Toddo Limaya menjadi empat kecamatan, dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah bekas kerajaan-kerajaan, yang dikenal fanatis dengan adat-istiadat lokal dan agak susah dimasuki tranformasi modern. 
Karena pertumbuhan Tanralili sendiri seiring dengan berdirinya Toddo Limaya Ri Marusu diawal tahun 1700, sehingga pada bagian ini tetap merujuk bahwa Tanralili sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Toddo Limaya Ri Marusu.
Tanralili merupakan kerajaan terbesar kedua dalam jajaran Toddo Limaya, setelah Turikale, yakni Tanralili membawahi 40 Kampung dengan pusat pemerintahan waktu itu di Masale, dan selanjutnya pada masa pemerintahan I Tjalla Karaeng Bunga menjadi raja di Tanralili, maka pusat pemerintahan yang tadinya di Masale di pindahkan ke Bonto Rita dan membangun Baruga di Paramboce (Desa Damai) dan pemukimanan bagi para pengikutnya di Borongloe dan Pallangga (Desa Bontomatene).
Wilayah Tanralili merupakan hamparan dataran tinggi dan dataran rendah yang kurang subur untuk dijadikan perkebunan, yang didiami oleh kelompok masyarakat yang terkenal memiliki temperamen dan watak yang keras dan mudah tersinggung. Mengapa karakter masyarakat Tanralil demikian ? Sebab, komunitas awal Tanralili sangat bergantung dengan alam, dan cukup tertutup dengan komunitas lain, karena daerah pegunungan yang cukup sulit untuk dijangkau.
Disamping itu, kebiasaan umum komunitas Tanralili adalah gemar dengan aktifitas yang bercorak sensasional, petualangan yang berkarakter keras.Hal itulah yang mendasari penamaan daerah ini yaitu Tanralili yang berarti tidak mudah menyerah dan tidak dapat ditundukkan.
Dalam epos dan legend masyarakat Tanralili telah mengenal adanya peradaban purba dengan ditemukannya beberapa situs prasejarah seperti tanrassan di Cindakko, tanrassan di Baru (tanrassan; tempat penempah besi untuk membuat badik), yang dibuat oleh pandai besi yang sakti, gua Rapang-Rapang di Baddo Ujung ( gua Rapang-Rapang; konon, ada sembilan patung manusia yang terbuat dari unsur emas, dengan jenis yang mewakili etnis termasuk bentuk Chines, Japanese, Dutch, dan orang yang duduk batu tannung), Padang Taring (batu taring setinggi 2,5 meter) di Kaluku. Konon batu Padang Taring merupakan tempat persidangan dan pertemuan 3 batara yang kejadiannya ribuan tahun yang lalu.
Bahkan beberapa peneliti sejarah mengungkapkan bahwa turunan dinasti pertama Tanralili (masapurba) banyak menyebar di berbagai negeri kemudian membangun kerajaan baru. Sementara generasi kerajaan purba di Tanralili tidak ada yang tersisa, sehingga yang tertinggal adalah cagar budaya yang tidak terawat namun masih dapat di temui diberbagai tempat.
Ratusan tahun kemudian pada abad XVII pemerintahan di Tanralili dipimpin oleh dua dinasti pokok, yang pertama dinasti Latenri To Marilaleng yang kemudian dikenal sebagai perintis berdirinya kerajaan Tanralili. Berdasarkan versi tuturan dari responden, bahwa penamaan gelar Daeng bagi raja Tanralili diambil dari konvensi yang disepakati para raja di kerajaan Gowa, Bone, dan Luwu, bahwa Tanralili diputuskan sebagai wilayah otonom dengan gelar Daengta bagi raja yang memimpin Kerajaan Tanralili.
Karena raja pertama yang berkuasa di Tanralili kebetulan berasal dari kerajaan Bone yang merupakan salah satu cucu La Patau Sultan Alimuddin Matinroe Ri Naga Uleng raja Bone XVI/ Datu Soppeng XVII yang melahirkan dan menurunkan beberapa raja di kerajaan Bone, kerajaan Luwu, kerajaan Soppeng, kerajaan Gowa. Dari konvensi tiga raja yang berkuasa di tiga kerajaan tersebut yang kebetulan masih kerabatnya, maka memudahkan memberikan penamaan gelar Daengta bagi raja di Tanralili.
Dinasti Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong yang kemudian membawa kerajaan Tanralili terkenal, dan diperhitungkan tidak saja di Marusu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone. Bahkan kerajaan-kerajaan lain yang berada dalam otonom Celebes.
Pada masa pemerintahan Belanda, kerajaan Tanralili selalu menjadi prioritas dalam penanganan dan pengendalian keamanan. Karena nyaris dalam setiap pergolakan politik di kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Tanralili dijadikan sentral perjuangan kemudian melebar dan mempengaruhi konflik di kerajaan Gowa – Tallo dan kerajaan Bone.
Dalam tuturan dan catatan masyarakat Tanralili, bahwa Tanralili di beberapa periodik selalu menjadi tempat konsentrasi dimulainya pergolakan politik kekuasaan. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XI I Taji Barani Daeng Marompa Karaengta Data, ketika akan memperluas wilayah kerajaan Gowa, dan melakukan serangan terhadap kerajaan Bone yang di jabat Raja Bone VII La Tenrirawe Bongkange Matinroe ri Gucina.
Upaya perebutan kekuasaan oleh I Mappasempa Daeng Mamaro di bantu Arung Matoa Wajo, Arung Kaju dari Bone, dan La Madukelleng, saat akan menduduki kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa, memilih Tanralili sebagai base camp penyerangan awal ke kerajaan Tallo.
Batara Gowa I Sangkilan saat menduduki kerajaan Tallo, memilih penyerangan di mulai dari Tanralili dan menyerang pos Belanda di Marusu, dan berikutnya kerajaan Tallo. Kemudian kembali menghimpun kekuatan di Tanralili untuk melakukan serangan kilat ke istana kerajaan Gowa di Jongaya.
Lalu gerakan perjuangan Abu Bakar Karaengta Data pasca perang Beba membuat pemerintahan di beberapa kerajaan bawahan di kerajaan Gowa – Tallo mengalami stagnan dan kevakuman termasuk di Marusu sampai di Pangkajene, implikasi dari perang Beba yang meledak pada tahun 1819 – 1822, membuat beberapa kerajaan bawahan di pedalaman kerajaan Gowa nyaris dikuasai oleh laskar Abu Bakar Karaengta Data seperti, seperti Manuju, Borisallo, Gallarrang Songkolo, dan beberapa kerajaan yang masuk dalam Toddo Limaya ri Marusu hingga di Pangkajene. Dan Tanralili dijadikan sebagai alternatif untuk penampungan bagi laskar dan pengikut militan Abu Bakar Karaengta Data, di bawah pimpinan putra beliau Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, yang kemudian didaulat sebagai raja Tanralili VI.
1. Asal-usul Raja Tanralili
Dinasti pertama di Tanralili berasal dari Bone pada Lontara silsilah Bone terungkap mengenai cikal-bakal kerajaan Tanralili dan rajanya. Bahwa raja Bone XVI La Patau Sultan Alimuddin Matinroe ri Naga Uleng yang memperistri I Mariama Karaeng Patukangan putri Mappadulung Daeng Mattimu Karaeng Sanro Bone Sultan Abdul Jalil, dari perkawinan tersebut melahirkan tiga putra;
1. La Pareppa To Sappewali Arung Palakka Sultan Ismail dan diangkat menjadi Raja Gowa XX
2. La Padangsajati To Wappareweraja
3. La Pannuangi To Wappamole Sultan Abdullah Mansyur Matinroe ri Beula raja Bone XX. Beliau yang menjadi leluhur di Tanralili.
La Pannuangi To Wappamole Sultan Abdullah Mansyur memperistrikan Siti Hawang putri dari Arung Mampu, dan mempunyai anak La Tenri Page Arung Tungke (Arung Mampu), yang kemudian mengawini salah satu cucu dari ( La Patau dari istri I Maemuna Dala Marusu, red ) dari perkawinan tersebut melahirkan I Manning Arung Petteng yang kemudian diperistri oleh La Tenri To Marilaleng Pawelaiye Kaluku ( putra La To Balang Arung Tanete ) dan melahirkan La Mappaware Daeng Ngirate Karaeng Bulu Ara’na Bulu.
2. Raja yang Memerintah di Kerajaan Tanralili.
La Mappaware Daeng Ngirate Karaeng Bulu (1697 - 1711)
Adalah raja pertama Tanralili sehingga ia bergelar Batara Tanralili, asal-usulnya telah dijelaskan pada bagian depan. Permaisurinya bergelar Manurung ri Ba’lasa Karaengta Allaere (bulu Ba’lasa; desa Bontomanurung, red). Berdasarkan penuturan masyarakat dari berbagai sumber, bahwa La Mappaware merupakan pengembara yang berasal dari Bone dan bertemu dengan To Manurung dari bulu Ba’lasa. Dari perkawinannya melahirkan Daengta Tanralili. Sementara Kalompoang yang disimpan adalah Regelia bernama Bulaengta, lontaranya bernama Bakkasa, dan azimatnya bernama La Sikapang. Setelah beliau wafat bergelar Karaeng Bulu.

Daengta Tanralili Matinroe ri Masale (1711 - 1729)
Daengta Tanralili mengawini We Mantasabbe Daeng Lunga putri dari kerajaan Luwu, yang mempunyai anak 3 orang putra;
I Lele Daeng Ri Moncong Matinroe ri Tallo
I Panjanggau Daeng Mamala Matinroe ri Solojirang
I Malluluang Daeng Manimbang Matinroe ri Cidu Toa
3. I Lele Daeng Ri Moncong Matintoe Ri Tallo (1730 – 1735)

Pada masa pemerintahannya ia lebih banyak menjalin hubungan komunikasi
ke kerajaan Gowa, Bahkan Tanralili menjadi salah satu kerajaan bawahan dari kerajaan Gowa. Maka suatu ketika terjadi persilihan faham dengan raja Gowa, yang menyebabkan dirinya siri’ untuk kembali ke Tanralili. Sehingga mengambil keputusan menetap di Tallo hingga akhir hayatnya dan bergelar Karaeng Tanralili Matinroe ri Tallo.
4. I Panjanggau Daeng Mamala Matinroe Ri Solojirang (1735 -1781)
Ia tercatat sebagai raja yang anti Belanda, bahkan sering mengadakan perang puputan bersama dengan istrinya Zaenab Daeng Matasa yang menyebabkan keduanya gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Pada masa pemerintahannya banyak memberikan fasilitas terhadap perjuangan Batara Gowa I Sangkilan. Bahkan dalam pendudukan wilayah Marusu dan kerajaan Tallo (Batara Gowa I Sangkilan; 1777) I Panjanggau Daeng Mamala punya andil dan advice yang besar. Beliau dikebumikan di tepi Sungai Maros, beberapa keturanannya kemudian menjalin hubungan perkawinan antara Tanralili dengan Simbang, Turikale, dan Bontoa.
5. I Malluluang Daeng Manimbang Matinroe ri Cidu Toa (1781 – 1819)
I Malluluang Daeng Manimbang memperistri I Ripa Daeng Cani Sugi Bontopadingin. Salah satu anaknya yang bernama Petta Tiro yang kemudian menempatkan keturunannya menjadi Karaeng Turikale, Karaeng Simbang, dan bahkan beberapa keturunanannya kemudian menjadi Syech Besar di Tarekat Khalwatiah di Leppakomai dan Pate’ne. Saat I Malluluang wafat terjadi kevakuman di kerajaan Tanralili, karena dampak dari perang puputan Abu Bakar Karaengta Data di mana wilayah kerajaan Tanralili menjadi basis perjuangan dan pertahanan yang dikuasai oleh pasukan Abu Bakar Karaengta Data, yang selalu menyerang kekuatan Belanda di Maros dan Pangkep.
Saat itu, Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong yang menjabat sebagai salah satu panglima perang laskar kerajaan Bone, banyak dibantu pasukan gabungan dari laskar kesatuaannya (pengikut setia Abu Bukar Karaengta Data) yang disiapkan di Tanralili dan laskar Tanralili sendiri dalam menjaga stabilitas keamanan Bone selatan dan Tanralili. 
Beberapa tahun kemudian setelah perang Abu Bakar Karaengta Data berakhir pada tahun 1826, maka salah satu cucu dari I Malluluang Daeng Manimbang yang bernama I Pawawoi Daeng Tula, yang saat itu berperan sebagai Salewatan Tanralili (Sallewatan; pejabat pemerintahan yang melaksanakan pemerintahan atas belum adanya pengangkatan Karaeng). Ia berinisiatif bersama masyarakat setempat mendudukkan putra Karaengta Data untuk jadi raja di Tanralili. Dengan alasan, ‘’Bahwa Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong lebih pas didaulat jadi raja di Tanralili, untuk mengantar rakyat Tanralili kearah yang lebih baik.’’
6. Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong (1826 -1870)
Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, merupakan putra ketiga Abu Bakar Karaengta Data dari istrinya yang ketiga I Ranti Daengta Nisayu yang berasal dari manurung Parigi (Gowa). Tjalla Karaeng Bunga dibesarkan dalam lingkungan patriotik laskar militan Abu Bakar Karaengta Data. Dalam usia remaja sudah melibatkan diri dalam perang besar di Beba, pada saat itu pasukan ayahandanya yang berjumlah 3000 prajurit, dihadapkan dengan pasukan gabungan Belanda, kerajaan Gowa dan kerajaan sekutu Belanda mengepung kekuatan pasukan Karaengta Data.
Pertempuran tidak berimbang waktu, tidak menyiutkan nyali laskar Karaengta Data, sehingga pertempuran itu dikenal dengan perang Amok yang heroik. Dimana kedua belah pihak mengalami korban yang besar, dan bagi Belanda perang Beba merupakan perang histeris karena mengalami pengorbanan yang jauh lebih besar, kehilangan prajurit pilihan ratusan orang, arsenal dan armada laut banyak yang dikaramkan.
Sementara laskar Abu Bakar Karaengta Data beserta keluarganya masih dapat meloloskan dan menyebar di berbagai tempat di pedalaman Borisallo, Manuju, Parigi, Tombolo, Tanralili, Jeneponto, Takalar. Pasca perang Beba, Tjalla Karaeng Bunga mengungsi ke kampung Ponre di kerajaan Bone, dengan rute perjalanan dari Passibungan, Galesong, Limbung, Pallangga, Parangbanoa, Kampung Lanna, Borisallo, Gantarang, Kampung Ponre Bone.
Di kampung Ponre dalam wilayah kerajaan Bone Tjalla Karaeng Bunga bersama dengan pengawal setia ayahandanya yang menjadi pengasuhnya membuka lahan pertanian. Hingga suatu ketika dalam kebun yang ditanami ubi jalar ada seekor babi siluman yang kebal dengan senjata tajam, oleh orang kampung di Ponre babi tersebut selalu meresahkan masyarakat, bahkan cerita babi suliman tersebut sudah sering jadi obyek pembicaraan di kalangan petinggi kerajaan Bone. Karena terlalu meresahkan dan telah banyak penduduk yang jadi korban keganasannya.
Maka saat binatang tersebut muncul dalam lokasi pertanian yang dikelolah Tjalla Karaeng Bunga, oleh salah satu pengawalnya menombak binatang tersebut dan membawa kabur ’Tombak Kanjai’ milik Tjalla Karaeng Bunga. Sementara binatang yang tertombak kabur dan mati di perkampungan terdekat dan jadi tontonan masyarakat kampung. Kabar matinya babi siluman tersebut sampai di salah satu punggawa kerajaan Bone, dan tombak Kanjai yang tertancam di punggung babi tersebut diambil dan dibawa ke istana kerajaan Bone untuk dilaporkan ke raja Bone.
Raja Bone yang memegang tombak Kanjai lalu mengamati dengan seksama, dan menanyakan bahwa siapa yang menombak binatng itu, dan siapa pemilik tombak Kanjai tersebut. Punggawa kerajaan yang mendapati tombak itu, lalu menyampaikan bahwa berdasarkan informasi penduduk bahwa tombak tersebut berasal dari kampung Ponre yang pemiliknya berasal dari Gowa.
Raja Bone yang mendengar bahwa pemilik tombak tersebutt berasal dari Gowa, dengan serta merta memerintahkan punggawanya mengembalikan dan menyampaikan bahwa raja Bone mau bertemu dengan pemilik tombak Kanjai tersebut. Maka punggawa kerajaan Bone berangkat ke kampung Ponre menemui Tjalla Karaeng Bunga dan menyampaikan bahwa raja Bone mau bertemu dengannya.
Beberapa hari kemudian Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong berkunjung ke istana dan menemui raja Bone. Setelah berbincang beberapa saat raja Bone berpesan dan meminta agar Tjalla karaeng Bunga sudi tinggal di kerajaan Bone, ’’ Tinggallah di sini nak membantu kakekmu, nanti setelah panen baru kita keluar ke kerajaan Gowa.’’
Di kerajaan Bone Tjalla Karaeng Bunga di beri posisi strategis dengan jabatan salah satu panglima perang kerajaan. Semasa panglima perang pada tahun (1820 – 25) berkali-kali ia menyerang posisi Belanda di Marusu. Bahkan setiap melakukan serangan ke kekuatan Belanda dan kerajaan Gowa di Marusu, ia selalu menggunakan sisa laskar ayahandanya yang telah menetap di Tanralili, sementar laskar pasukan dari kerajaan Bone di jadikan sebagai pembackup pasukan.
Karena seringnya melakukan tekanan dan gangguan terhadap kekuatan Belanda dan kerajaan Gowa, maka asisten Gubernur yang berkedudukan di Pangkajene meminta Gubernur Belanda di Makassar, agar membicarakan dengan raja Bone, raja Gowa, bagaimana strategi meredam gejolak tersebut.
Maka gubernur Belanda di Makassar bersepakat dengan raja Gowa untuk menawarkan beberapa alternatif kerajaan di Maros untuk menjadi otonomi dari Tjalla Karaeng Bunga. Mendengar niat Belanda dan raja Gowa, maka I Pawawoi Daeng Tula dengan senang hati menawarkan ke Tjalla Karaeng Bunga, agar ia memilih Tanralili sebagai pilihan. Karena Tanralili merupakan basis perjuangan kakeknya Batara Gowa I Sangkilan dan ayahandanya Karaengta Data. Tanralili juga bersebelahan dengan kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo.
Atas saran dan permintaan I Pawawoi Daeng Tula Salewatan Tanralili I, ’’... Inai paleng langngerangi Tanralili mange ri kalabiranna, ka i kambe ji nak siratanna ni paempo jari Karaeng... ’’ maka Tjalla Karaeng Bunga menerima Tanralili sebagai pilihannya, dengan konsekuensi bahwa, ‘’...kukarannuangmi ri minasanta ngaseng ki paempoa ri kalabirang mingka ki kambeya rimapparentaku...’’ Dengan pertimbangan strategis bahwa Tanralili merupakan komunitas yang fanatis dan militan dalam memperjuangkan hak-hak universal. Bahwa komunitas Tanralili selama ini banyak menyumbang Tubarani dalam perjalanan sejarah kerajaan Gowa.
Pada masa pemerintahannya sebagai raja Tanralili, ia banyak didampingi saudaranya dalam pengambilan kebijakan dan keputusan seperti I Galesa Karaeng Ri Burane (I Pelo Karaeng Panrita), I Sakodana Karaeng Sila (Rajabagus), dan adiknya I Tajibarani Karaeng Tarang. Begitu juga dalam pelaksanaan pemerintahan ia mempercayakan pada I Pawawoi Daeng Tula sebagai Salewatan Tanralili, dan beberapa pengawal pribadi ayahandanya yang dijadikan sebagai penasehat dalam pengambilan keputusan.
Oleh para saudaranya dan mantan para pengawal pribadi ayahandanya, berniat membesarkan Tanralili sebagai basis kekuatan kekuatan inti sesuai amanah dan pesan Abu Bakar Karaengta Data, saat terpisah di perang Beba di kampung Passimbungan. Mereka bersepakat, bahwa walaupun Tanralili itu dibatasi kewenangannya sebagai salah satu kerajaan bawahan (regent).
Namun, Tanralili harus menguasai wilayah seluas-luasnya hingga berbatasan dengan kerajaan Gowa – Tallo, dan menjalin hubungan yang bagus dan harmonis dengan kerajaan tetangga dan kerajaan lain yang sepaham dan berpandangan sama tentang katojengan, siri na pacce sebagai pijakan bagi pemerintah. Keuletan para kerabat dan saudaranya memperluas pengaruh dan wilayah kerajaan Tanralili, tidak terlepas dari stagnan pemerintahan kerajaan Gowa dan pemerintahan Belanda pasca kerusuhan besar akibat perang Abu Bakar Karaengta Data.
Akibat dari kerusuhan itu, maka kepercayaan masyarakat pedalaman dan kerajaan bawahan dalam otonomi kerajaan Gowa dapat dikatakan melemah pengaruhnya. Karena pemerintah kerajaan di sibukkan dengan gejolak pemberontakan dan gerakan separatis yang melakukan kekacauan di daerah pedalaman. Sehingga pihak kerajaan Gowa tidak mampu lagi mengawasi pemerintahan dan ketertiban masyarakat. Maka, kampung-kampung yang kebetulan berdampingan dengan Tanralili dengan sukarela menggabung dalam pemerintahan Tanralili.
Di masa pemerintahan Tjalla Karaeng Karaeng Bunga sebagai raja Tanralili, kerajaan Tanralili mengalami banyak kemajuan dengan bergabungnya beberapa kampung Makkaraeng, Kadieng, Bontoa, Batutambung, Daya, Romang Polong hingga batas sepanjang sungai Tallo. Karena luasnya wilayah dan perkampungan penduduk yang harus dikawal.
Dengan pertimbangan strategis bahwa untuk memajukan Regent Tanralili maka pusat pemerintahan Tanralili yang sebelumnya berkedudukan di Masale, kemudian di pindahkan ke Bonto Rita dengan mendirikan Baruga di Parang Boce pada tahun 1828 sebagai Centre Goovernance of Regent Tanralili. Bahwa pusat pemerintahan bila berada di dataran rendah akan lebih terbuka, dan akan banyak dikunjungi oleh orang dan komunikasi dengan perkampungan luar dan negeri sahabat akan lebih mudah berkoordinasi untuk memajukan pola pandang dan pembangunan komunitas ke depan. 
Dengan pergeseran pusat pemerintah dari Masale ke Parangboce, maka dengan sendirinya terjadi pembukaan pemukiman baru bagi kerabat dalam jarak 500 meter dari sebelah utara pemukiman penduduk di Tompobalang dan Bonto Cinde, sebelah timur pemukiman penduduk di Pammelakkang dan Biringkaloro, sebelah selatan pemukiman penduduk Patadang dan Borongloe, sebelah barat pemukiman penduduk Pallangga dan Pasaikang. Ia juga membuka pemukiman di Amarang dan Billa yang didiami oleh keluarga terdekat (famili gruop).
Pembukaan pemukiman penduduk dengan sistim sulapa appa, dimaksudkan sebagai sistem pertahanan terbuka dari lingkar terluar untuk mendeteksi dan mengantisipasi ancaman dari luar. 
Dimasa pemerintahannya peran Karaeng Binea (Djira Karaeng Kalukuan; istri, dan pada sisi lainnya adalah masih tantenya sendiri, karena dikuatirkan akan diambil dan diperistri oleh tuan Besman) penguasa assisten gubernur Belanda di Maros dan Pangkajene.
Peran strategis Karaeng Kalukuan dalam mengembalikan tanah adat dari Karaeng Bisei yang sebelumnya dikuasai Belanda, kemudian dikembalikan kepimilikannya oleh Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong ke istrinya Djira Karengta Kalukuan, dengan alasan bahwa tanah adat tersebut adalah milik dari Karaeng Bisei dan Djira Karaeng Kalukuan adalah pewaris dari tanah adat tersebut.
Untuk menghindari konflik lahan dikemudian hari, maka Djira Karaengta Kalukuan berinisiatif mengawinkan dua anak binaannya dengan keponakannya dari anak Karaeng Bisei. Karaeng Kalukuan lalu menyarankan agar dilakukan perkawinan silang antara putra-putri dari saudaranya dengan putra-putri Tjalla Karaeng Bunga dari Karaeng Baji dan Karaeng Suji.
Lalu pada tahun 1845 dilakukan perkawinan kembar di Baruga Paramboce antara Fatahulla Karaeng Tayang anak dari Karaeng Baji dikawinkan dengan Karaeng Padja putri dari Karaeng Bisei I, dan Hamdja Karaeng Taba putra dari Karaeng Bisei dikawinkan dengan Karaeng Labbi putri dari Karaeng Suji. Setahun kemudian Nyimpung Karaeng Lallo anak kedua dari istrinya yang pertama Karaeng Suji dikawinkan dengan Dani Karaeng Ngati anak dari Karaeng Nya’la (bersaudara dengan Karaeng Sissing) cucu dari Karaeng Bisei Toa.
Pada tahun 1868 muncul gerakan separatis untuk menggulingkan raja Gowa XXXII I Kumala Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid, yang di lakukan kompatriot Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, yang dipimpin oleh Gallarrang Mangasa Mannyereang Daeng Serang, Gallarrang Songkolo Garancing Daeng Malala (Bapak Pento), dan Gallarrang Moncongloe Apabang. Mareka mencoba melakukan Coup agar raja Gowa turun dari tahtanya, supaya Tjalla Karaeng Bunga dapat menggantikannya. Tetapi upaya itu digagalkan oleh gubernur Belanda di Makassar, dan Gallarrang Mangasa di penjarakan.
Sementara Tjalla Karaeng Bunga mendapat teguran keras dari gubernur Belanda, agar tidak melibatkan diri dalam gerakan sosial, sejak peristiwa itu ruang gerak Tjalla Karaeng Bunga mulai dibatasai oleh penguasa Belanda. Karena di takutkan bila gerakan sosial dan provokasi para kolega Tjalla Karaeng Bunga yang menyebar di berbagai raja-raja bawahan di kerajaan Gowa akan sulit dipadamkan bila mereka merapatkan barisan untuk mengusung Tjalla Karaeng Borong sebagai raja Gowa yang baru.
7. Fatahulla Karaeng Tayang (1871 – 1877)
Setelah ayahandanya wafat Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong Karaeng Tanralili ke 6 pada tahun 1870. Maka Fatahulla Karaeng Tayang menggantikan ayahandanya sebagai karaeng Tanralili, Fatahulla Karaeng Tayang merupakan putra pertama Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari istrinya Karaeng Baji yang berasal dari kerajan Selayar.
Beliau merupakan anak tunggal dari istri keduanya yang berasal dari kerajaan Selayar, yang kemudian dikawinkan pada tahun 1845 dengan Karaeng Padja anak dari Karaengta Bisei I (kemanakan dari Djira Karaengta Kalukuan istri dari Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong). 
8. Nyimpung Karaeng Lallo (1877 – 1898)
Karena pertimbangan kesehatan dan ketidakmampuan untuk menjalankan pemerintahan, maka Fatahulla Karaeng Tayang menyerahkan tampuk pimpinan ke adiknya Nyimpung Karaeng Lallo anak ketiga Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari istri pertamanya Batari Karaeng Suji.
Pada masa pemerintahan Nyimpung Karaeng Lallo sebagai karaeng Tanralili ke 8, mengalami banyak kemajuan bagi Tanralili, baik dari segi peningkatan keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Konon dimasa pemerintahannya sangat tegas terhadap berbagai tindak kejahatan, maka banyak kerabat dari kakeknya yang menjalin hubungan kerjasama dengan Tanralili, seperti bangsawan dari Bone, Bantaeng, Gowa, Polongbangkeng, Selayar, Manuju, Borisallo, Parigi.
Bahkan, ia dengan sukarela mengirimkan bantuan Tubarani dari Tanralili ke daerah konflik bilamana kerajaan kerabatnyamengalami gangguan dari kelompok separatis yang mengganggu stabilitas keamanan. Maka tidak mengherankan bila raja-raja dari kerajaan kerabatnya mempunyai hubungan emosional dengan Tanralili.
Maka tidaklah mengherankan saat akan diasingkan ke Bima, para kerabat dan keluarganya dari selatan ingin melakukan pemberontakan dan membakar Bandar Makassar saat akan diasingkan ke Bima. Karena tidak menerima perlakuan pemerintah Belanda terhadap Nyimpung Karaeng Lallo yang akan diasingkan ke Bima. Para kerabat dan keluarga berdatangan dari Polongbangkeng, Bantaeng, Bone, Gallarang Songkolo meminta ke pemerintah Belanda agar membatalkan pengasingannya ke Bima bersama putra pertamanya Toe Karaeng Gajang. Beliau kemudian wafat di Dompu Bima.

Nyimpung Karaeng Lallo beristrikan Dani Karaeng Ngati, dengan 4 orang anak; Toe Karaeng Gajang, Bandu Karaeng Palallo, Bode karaeng Djai, dan Tumaning Karaeng Tuni. Selain Dani Karaeng Ngati sebagai istri pertama, ia juga mengawini kemanakan dari Karaeng Bossolo yang bernama Daeng Bollo yang kemudian melahirkan Mattoreang Karaeng Ramma.
9. Toe Karaeng Gajang Karaeng Ta’lea ri Bima (1899 – 1906)
Karena faktor usia dan kesehatan maka pemerintahan karaeng Tanralili lalu diserahkan ke putranya Toe Karaeng Gajang sebagai karaeng Tanralili ke 9, beliau menggantikan ayahandanya secara resmi pada tahun 1899 – 1906. Dalam masa pemerintahannya sebagai karaeng Tanralili, dikenal idealis dan militan dalam menyelesaikan masalah.
Tindakan-tindakannya sangat keras dan banyak bertentangan dengan pemerintahan Belanda yang waktu itu masih berkuasa. Banyak kebijakannya yang merugikan pihak Belanda, sehingga pemerintahan Belanda turut diresahkan akan sepak terjang Toe Karaeng Gajang yang terlalu idealis.
Atas tindakan dan kelakuannya yang idealis dan militan lalu beliau kemudian diasingkan ke Bima, ayahandanya kemudian ikut mendampinginya di buang ke Bima. Karena Nyimpung Karaeng Lallo menyayangkan putranya diasingkan sendiri ke Bima, sebab usianya masih terlalu muda untuk menjalani hidup yang keras di pengasingan. Maka dengan sukarela dan ikhlas ayahandanya turut serta mendampingi anaknya diasingkan ke Bima.
Selama masa pengasingan beliau digantikan adiknya I Bandu Karaeng Palallo sebagai Salewatan Tanralili II, sampai adanya pengganti karaeng Tanralili secara resmi yang diputuskan berdasarkan konvensi adat. 
10. Punru Daeng Mangati Matinroe Ri Bengkalis (1908 – 1916)
Punru Daeng Mangati adalah putra dari Pacoloi Daeng Mangoyo dari istrinya I Banna Petta Nurung ( salah anak dari Arung Ponre di Bone). Konon, akibat penghianatan seorang Landzat Pribumi, lalu diasingkan ke Bengkalis Sumatera, hingga wafat dan dimakamkan di Bengkalis.
Punru Daeng Mangati memperistri Raden Halija Daeng Ratang anak dari tuan Jaksa Landrad Maros ( Raden Mas Sukaraja ).
11. Abdul Gani Karaeng Romo (1916 – 1925)
Ayahandanya bernama Raden Mas Abdul Fattah adalah cucu dari Pangeran Dipanegoro. Raden Mas Abdul Fattah kemudian memperistri Baliang Karaeng Tanang (anak dari Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari istri ke 4 yang bernama Daeng Ngimi). Abdul Gani Karaeng Romo kemudian memperistri Siti Basari Karaeng Labbi anak dari Bandu Karaeng Palallo Salewatan Tanralili II. 
12. Andi Nanggong Karaeng Matimu (1925 – 1930)
Andi Nanggong Karaeng Matimu, sebelunya adalah juru tulis Karaeng Tanralili yang digantikan, ketika Abdul Gani Karaeng Romo mengundurkan diri, dan digantikan oleh Andi Nanggong Karaeng Mattimu.
Andi Nanggong Karaeng Mattimu, memang berhak memangku jabatan Karaeng Tanralili karena ibundanya yang bernama Bode Karaeng Jai merupakan anak dari Nyimpung Karaeng Lallo Karaeng Tanralili ke – 8. Dari perkawinan Bode Karaeng Jai dengan Andi Muhammad Ali Kareang Lira Karaeng Labbakkang, yang kemudian melahirkan Andi Nanggong Karaeng Mattimu.
Andi Nanggong Karaeng Mattimu kemudian diberhentikan dari Karaeng Tanralili ke 12, dan kemudian diangkat sebagai Karaeng Segeri oleh gubernement 
13. Andi Abdullah Daeng Matutu (1930 – 1952)
Abdullah Daeng Matutu, sesungguhnya berasal dari Turikale dan Simbang, sebab ibunya bernama Sahada Daeng Ningai adalah anak dari La Umma Daeng Manrapi karaeng Turikale III. Berarti ibunya masih bersaudara dengan Patahuddin Daeng Parumpa Karaeng Simbang X.
14. Andi Badudin Daeng Manuntung (1952 – 1963)
Andi Baduddin Daeng Manuntung adalah putra dari Andi Fahrudin Daeng Sila Karaeng Imam Simbang dan I Dawani Daeng Bau anak dari Gallarrang Kodingareng, Andi Fahrudin merupakan adik kandung dari Andi Abdullah Daeng Matutu Karaeng Tanralili XIII.

Andi Badudin Daeng Manuntung, merupakan karaeng Tanralili XIV dan yang terakhir, karena Distrik Tanralili kemudian dilebur menjadi kecamatan Mandai. Andi Badudin kemudian menjadi salah satu staf di kecamatan Mandai, kemudian diangkat menjadi camat di Bantimurung
Artikel ini di ambil dari beberapa sumber, penulis tidak melakukan kajian lebih mendalam akan kebenaran sejarahnya.

9 komentar:

  1. Iyangku kitamabassung, La Pannuangi matinroE ri beula? penulisan nama dan gelar beliau keliru!!!...yang bergelar matinroE ri Beula (Baula) adalah puatta La Padassajati To Appaware' Sultan Sulaiman Puanna La Matta'MatinroE ri Baula. La Panaungi To'Pawawoi Arung Mampu Sultan Abdullah Mansyur Tuminanga ri Bisei., mohon sebelum posting sebaiknya menelusuri referensi lainnya,,,
    Kemudian I Manning atau We Masi bukan arung Petteng tetapi Arung Weteng...

    BalasHapus
  2. Iyangku kitamabassung, La Pannuangi matinroE ri beula? penulisan nama dan gelar beliau keliru!!!...yang bergelar matinroE ri Beula (Baula) adalah puatta La Padassajati To Appaware' Sultan Sulaiman Puanna La Matta'MatinroE ri Baula. La Panaungi To'Pawawoi Arung Mampu Sultan Abdullah Mansyur Tuminanga ri Bisei., mohon sebelum posting sebaiknya menelusuri referensi lainnya,,,
    Kemudian I Manning atau We Masi bukan arung Petteng tetapi Arung Weteng...

    BalasHapus
  3. Leluhur sy jg berasal dari tanralili namanya i kondang daeng manassa ammempoa rate rikanjilo, tpi setelah sy baca artikel di atas sy tdk menemukan nama leluhur sy, bagi yg tau sejarah leluhur sy mohon di beritahukan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Leluhur saya juga dr Tanralili, ada perkuburan keluarga di Tanralili. Apakah sama?

      Hapus
  4. Terimakasih untuk artikelnya. saya mengenal Karaeng Tanralili ke 14 yang merupakan paman saya. Ayah saya adalah adik bungsu Karaeng Tanralili -14. ayah saya bernama Andi Munir Fada (Fada merupakan singkatan Fa= Fahruddin, Da= Dawani). Ada makam keluarga terletak di kampung Pakalu kota kec. bantimurung (dekat jembatan menuju ke Leang-leang), dalam kompleks makam tersebut dikebumikan Andi Fachruddin karaeng imam simbang bersama istrinya I dawani daeng bau, Karaeng Tanralili ke-14, ayah saya Andi Munir Fada, dan beberapa keluarga dekat lainnya.

    BalasHapus
  5. Inai arenna appoko ri tanralili erok jh ku asseng

    BalasHapus
  6. Inai arenna appoko ri tanralili erok jh ku asseng

    BalasHapus
  7. Ada Nama Kakek Yang Ada Kuburannya di tanralili Maros Namanya Colly Palangka,
    Cc.Mohon infonya.

    BalasHapus